Wednesday, May 4, 2011

Guru-Guruku yang Pintar, Baik dan Lucu

by Ekawati Indriani P on Thursday, April 14, 2011 at 3:24pm

Ini bukan judul lomba mengarang waktu aku SD. Ini tulisan yang aku buat sekarang, saat aku berusia 30th lebih (hihi ga mau ngaku umur persisnya).

Selama proses homeschool, aku semakin menyadari, seorang anak tidaklah membutuhkan guru. Untuk belajar, yang diperlukan hanyalah kecintaan belajar itu sendiri. KEBUTUHAN akan BELAJAR. Tugas kami sebagai orang tua, hanya menyediakan fasilitas yang dibutuhkan mereka. 

Kadang kami menemani mereka utk berkunjung ke pabrik.
Kadang kami mengajak mereka utk bergabung di acara makan malam menjamu keluarga rekan kerja Papanya.
Kadang kami mengajak mereka beli martabak dan kopi untuk satpam di perumahan kami.
Kadang kami minta "dimengerti'" untuk kami punya waktu pacaran berdua dan mereka punya waktu main sendiri.
Kadang kami minta maaf karena sibuk mengurus pekerjaan kami, sehingga tidak bisa membacakan cerita sebelum tidur. 
Kami mendapati, semakin kami menjalani homeschooling, semakin itu merubah banyak hal dalam hidup kami.

Acara menonton TV yang dulu sering saya bilang membuang waktu, sekarang menjadi salah satu cara kami belajar. 
MacGyver contohnya. Saya sukaaaa banget tokoh itu. Heran dan kagum banget, apa ada ya di dunia nyata, ada orang kayak dia? Banyak hal positif yg kami pelajari dr tokoh MacGyver. Kreatif. Positif. Optimis. Pantang menyerah. Ganteng lagi.. Hihihi.. Ini salah satu ungkapan saya mengagumi salah satu ciptaan Tuhan. :P
Tapi menurut Evan, dia nggak suka dengan salah satu kelakuan si Mac. "Ma, dia itu aneh. Masak cewek enggak kenal baru ketemu, terus dia mau cium. Sembarangan." Wkwkwk.. aku seneng banget campur geli dengernya, artinya Evan sudah mengerti batas2 pergaulan pria dan wanita. ^_^

Belajar di mana saja dan kapan saja, seringkali tanpa buku dan alat tulis.

Nah,kembali ke judul di atas. 
Seiring bertambahnya usia, aku makin menyadari teknologi makin berkembang dan aku punya pilihan untuk belajar atau tertinggal.

Terinspirasi dari postingan di Twitter, seorang nenek 102 th, menuliskan statusnya di FB melalui iPad miliknya, membuat saya sadar, harus bener2 belajar banyak.

Nah, salah satu subyek yang sangat menantang bagiku adalah area digital. Semuanya serba digital sekarang. Kamera. Komputer. Termometer. Rice cookerpun skrg ada yg digital, kan? Suatu ketika, salah seorang sepupu saya yang baik memberikan link untuk ikut lomba fabric design. Lomba bikin desain kain utk anak2. Kebetulan krn aku suka banget menggambar kartun, Tapiiii.. filenya harus diserahkan dlam bentuk digital lewat email. Hah. Akhirnya aku menyerah kalah sebelum berperang karena tidak mampu. Huhuhu. Gambarnya ada di komputer, masih dalam bentuk foto pake kamera Blackberry karena aku tidak bisa meng-edit nya dengan Photoshop. Menyedihkan, bukan?

Berbekal tekad bulat dan sekeras baja, hihihi, aku mencoba mencari semua tutorial di youtube. Semakin melihat, semakin pusing. Semakin gepeng tekadku. Sudah tidak lagi bulat. Tidak lagi sekeras baja, tapi selembek tempe. :( 

Tiba-tiba aku ingat, hal-hal yang "sulit" buat aku, sangat mudah dicerna oleh Evan. Sering aku bingung dengan software baru, dia yang utak atik lebih dulu dan kemudian menjelaskannya padaku. Sering juga buku2 tebal yang aku harus baca kalimatnya beberapa kali, Clay dalam sekejab sudah habis dan menceritakan apa yang dibacanya kepadaku. "Maksudnya begini lho, Ma.."  dan saya cuma manggut-manggut. Ah,ternyata mereka inilah yang menjadi guruku.

Karena kebutuhan untuk belajar Photoshop sudah tak tertahankan, akhirnya, saya memberanikan diri bertanya pda Mbak Lala, minta ijin, boleh nggak belajar Photoshop bersama Yudhis. (Secara kalo belajar sama Mbak Lala, nanti pasti bikin stres soalnya aku gak bisa2. Hihihi..) -sadar diri, bolot banget kalo belajar hal2 kayak ginian- ^_^

Akhirnya, setelah beberapa kali pertemuan dengan menggunakan Skype, barulah saya bisa membuat ini dan itu. Sukaaa banget belajar sama Yudhis. Suka denger suaranya dan kesabarannya saat aku tergagap-gapap tidak bisa mengikuti instruksinya (yang jelas tapi terlalu cepat buatku). "Gimana, Tante, udah bisa belom?" "Mana yang masih belom ngerti, Tante?" "Tante kesulitan apa selama seminggu ini?"

Pertanyaan-pertanyaan yang tulus dengan niat membantu, suara tertawa Yudhis yang polos, membuat aku belajar jauh lebih banyak dari sekedar Pixlr (sejenis Photosop online).

Aku jadi merenung, apakah aku sesabar dan setulus Yudhis, jika anak-anak bertanya sesuatu yg mereka belum mengerti?

Biasanya aku malah cemberut dan mengerutkan kening sambil berkata:"Haduuuuh, ini kan sudah baca minggu lalu kan? Masak lupa lagi?" Aku jadi malu. Yudhis dengan sabar sama sekali tidak pernah mengungkapkan hal seperti itu. Sikapnya sangat positif sekali. Saya jadi terbayang-bayang Mbak Lala yang selalu tersenyum. Hm.. mungkin Yudhis sabar krn Mb Lala juga sabar. 

Kadang Clay tidak sabaran juga saat Evan bertanya sesuatu pada dia. Tapiii.. kalo aku refleksi balik, kayaknya aku juga bersikap begitu sama dia. Jadi, kesimpulannya: aku harus BERTOBAT! 

Bertobat untuk memiliki hati seperti anak-anak.
Bertobat untuk lebih banyak tertawa, bukan merengut.
Bertobat untuk lebih menikmati hidup dan belajar dari kesalahan.
Bertobat untuk lebih banyak belajar BERSAMA anak-anak.
Bertobat untuk tidak menjadi munafik, tapi polos dan apa adanya seperti anak-anak.

Tulisan ini dibuat, sebagai apresiasi untuk ketiga Guruku yang pintar, baik hati dan lucu.

Clement Wolfhunter
Stefan Ogrimund
Yudhis Neutron
(in alphabetical order)

Terima kasih. Kalian mengajarkan banyak buat hidupku.

Terima kasih juga untuk Mbak Lala yang sudah mengijinkan aku belajar bersama Yudhis.
Evan dan aku, di Photo Booth. Evan yang mengajariku untuk membuat foto "konyol" seperti ini. ;P

No comments: