Saturday, October 22, 2011

Rapor Tanpa Angka

Pejalanan homeschooling kami sudah berlangsung selama tiga tahun berjalan.(*saya menulis ini tahun lalu di notes FB saya) Banyak suka duka yang kami alami. Tapi, selalu ada saat-saat "menyentuh" yang tidak dapat tergantikan dan selalu membekas dalam hati. Biasanya berupa percakapan sehari-hari bersama kedua pelaku homeschooler di rumah kami. Ini salah satunya:

Saya: Clay, Mama baru mau membuat laporan belajar kamu nih.. Mau gimana modelnya ya. Ini barusan browsing, ada banyak model. Nih, Mama dah print beberapa contoh.. Any idea? 

Clay: Mmm.. maksudnya kayak rapor yang di sekolah dulu? 

Saya: Ya semacam itulah, supaya kita bisa liat aja, apa saja yang sudah dipelajari selama 6 bulan. Apa yang masih kita bisa improve. Yang Mama masih berpikir, kalo modelnya mau rapor seperti dulu berarti pake angka dong? Atau ga usah aja ya? Jadi cuma deskripsi apa yang dipelajari, tanpa angka gitu? What do you think?

Clay: Ah, NILAI ITU NGGAK PENTING, Ma.

Dulu ni ya,Ma, di sekolah kalo pas kertas ulangan dibagikan, semuanya malah jadi saling ngejek. Begitu nilai dia lebih tinggi dari temennya, langsung dia bilang kayak gini, "Ahh, elu nilainya cuman segitu! Cupu!" "Hahaha.. kalah lagi sama aku. Beda jauuuuh!"
Di kelas, di mobil antar jemput, isinya cuma ejek-ejekan nilai. yang nilainya bagus pamer. Yang jelek diejek.
Buat apa sebenernya dikasi nilai? Buat sombong-sombongan?

Saya tertegun. Diam. Tidak bisa menjawab.

Iya juga ya, sebenernya skala nilai siapa yang buat? Untuk apa juga dinilai karena tidak mewakili semua aspek yang dipelajari. Kadang soal ulanganpun pertanyaannya beda dengan bahan yang dipelajari.

Saya teringat tentang seorang murid yang minder tidak bisa menggambar. Kertasnya kosong sampai bel tanda kelas selesai berbunyi. Semua murid lain menertawakan dia dan kertas kosongnya. Tapi dengan bijak, sang guru mengangkat kertas kosong itu tinggi-tinggi dan berkata, " Buat Ibu, ini adalah gambar terbagus hari ini. Gambar awan putih, bersih sehingga kita tidak bisa melihatnya." Sang murid yang tadinya tertunduk, mulai mengangkat wajahnya kala kertasnya ditunjukkan di depan kelas. Dia tidak dihina. Dia tidak dilecehkan. Tapi hari itu dia dipulihkan dari rasa tidak percaya dirinya bahwa dia tidak bisa menggambar. Mulai hari itu, dia mau mencoba menggambar. Sejelek apapun, dia mau mencoba, karena gurunya yang bijak memberikan dukungan yang dia perlukan.

Dari percakapan di atas dengan Clay, akhirnya kami memutuskan rapor yang akan saya tulis, hanya berupa deskripsi apa yang dipelajari. Sumber materi: websites, judul buku, judul film/VCD, judul lagu, field trip, narasumber, dll.

Homeschooling merubah banyak paradigma saya. Membuat saya lebih banyak berpikir dan melakukan sesuatu bukan karena ikut-ikutan. 
Proses belajar di rumah membuat saya lebih mengenal siapa anak-anak saya. Mengenali kelebihan dan kekurangan anak-anak saya. 
Membuat kami lebih dekat dan erat sebagai keluarga.
Pelatih renang keluarga kami tidak dibayar, bahkan beliau kadang mentraktir cemilan setelah kami kelaparan berenang.
Kepala Sekolah kami adalah konselor sekaligus penasihat dalam keluarga, kadang menjadi fotografer juga saat kami field trip. :)
Semua anggota keluarga terlibat, termasuk anjing, ikan dan kura-kura peliharaan kami.
Dengan adanya kebun binatang mini di belakang rumah, kami belajar untuk bertanggungjawab merawat mereka bersama-sama.

Berikut adalah links tempat berkas2 yang saya unduh untuk guidelines saya menuliskan laporan belajar mereka. Silakan klik:




Semoga berguna. :)

No comments: